Iḥyā’ al-Mawāt dalam Kerangka Hukum Pertanahan di Indonesia

Ahmad Munif*  -  Fakultas Syari'ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang, Indonesia

(*) Corresponding Author

This paper gives a new conception of iḥyā’ al-mawāt. Iḥyā’ al-mawāt is an effort to revive, manage, and cultivate the land that has not been touched by human before, or has been managed but abandoned in a long time. Islam recommends that humans prosper the land (earth) mandated by God. In the classical fiqh study, iḥyā’ al-mawāt has implications for the acquisition of property rights on the land which is sought iḥyā’ al-mawāt and applies to all types of land. The fact is different from the provisions in the land law that applies in Indonesia. In Indonesia, every inch of land that is not in the name of private and customary rights, the land is a state land. So there is no land without a name. Although there are several types of state land that can be attempted to be managed by government permission. By doing descriptive analysis and comparison to the concept of iḥyā’ al-mawāt and land law in Indonesia, obtained two main conclusions. First, the land of al-mawāt in the framework of land law in Indonesia includes abandoned land, arising land, and reclaimed land. Against these three types of land, may be made iḥyā’ al-mawāt effort by permission of the government. Second, the implications of iḥyā’ al-mawāt in the framework of land law in Indonesia only on the right of utilization and management (ḥaq al-intifā'), not to the acquisition of ownership (al-tamlīk).

[]

Tulisan ini memberikan konsepsi baru atas iḥyā’ al-mawāt. Iḥyā’ al-mawāt merupakan upaya menghidupkan, mengelola, dan mengolah tanah yang tidak terjamah oleh manusia sebelumnya, atau pernah dikelola namun ditelantarkan dalam kurun waktu yang lama. Islam menganjurkan agar manusia memakmurkan tanah (bumi) yang diamanahkan oleh Tuhan. Dalam kajian fiqh klasik, iḥyā’ al-mawāt berimplikasi kepada pemerolehan hak milik atas tanah yang diupayakan iḥyā’ al-mawāt dan berlaku bagi segala jenis tanah. Kenyataan tersebut berbeda dengan ketentuan dalam hukum pertanahan yang berlaku di Indonesia. Di Indonesia, tiap jengkal tanah yang bukan atas nama pribadi dan hak ulayat, tanah tersebut merupakan tanah negara. Sehingga tidak ada tanah yang tanpa atas nama. Meskipun terdapat beberapa jenis tanah negara yang boleh dikelola atas seijin pemerintah. Dengan analisis deskriptif dan perbandingan terhadap konsep iḥyā’ al-mawāt dan hukum pertanahan di Indonesia, diperoleh dua kesimpulan utama. Pertama, tanah al-mawāt dalam kerangka hukum pertanahan di Indonesia meliputi tanah terlantar, tanah timbul, dan tanah reklamasi. Terhadap ketiga jenis tanah tersebut, boleh dilakukan upaya iḥyā’ al-mawāt atas seizin pemerintah. Kedua, implikasi iḥyā’ al-mawāt dalam kerangka hukum pertanahan di Indonesia hanya pada hak pemanfaatan dan pengelolaan (ḥaq al-intifā'), tidak sampai kepada pemerolehan kepemilikan (al-tamlīk).

Keywords: iḥyā’ al-mawāt; tanah; hukum pertanahan

  1. Afandi, M. Yazid. Fiqh Muamalah dan Implementasinya dalam Lembaga Keuangan Syari’ah. Yogyakarta: Logung Pustaka, 2009.
  2. al-Andalusiy, Ibn Ḥazm. al-Maḥalli bi ’l-Athar. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th.
  3. Alting, Husen. “Penguasaan Tanah Masyarakat Hukum Adat (Suatu Kajian terhadap Masyarakat Hukum Adat Ternate).” Jurnal Dinamika Hukum 11, no. 1 (2001): 84–95. http://dx.doi.org/10.20884/1.jdh.2011.11.1.75.
  4. Dumais, Rendy Octavianus. “Pengaturan Hukum terhadap Keberadaan Tanah Terlantar di Indonesia.” Lex et Societatis, 2, no. 5 (2014): 40–55.
  5. Fitri, Ria. “Tinjauan Tanah Terlantar dalam Perspektif Hukum Islam.” Kanun Jurnal Ilmu Hukum 13, no. 3 (2011): 1–16. http://www.jurnal.unsyiah. ac.id/kanun/article/view/6249.
  6. Haika, Ratu. “Konsep Qath’i dan Zhanni dalam Hukum Kewarisan Islam.” Mazahib: Jurnal Pemikiran Hukum Islam 15, no. 2 (2016): 183–95. http://dx.doi.org/10.21093/mj.v15i2.632.
  7. Harisudin, M. Noor. “Rekonstruksi Fiqh dalam Merespon Perubahan Sosial.” Asy-Syir’ah: Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum 50, no. 1 (2016): 81–107. https://doi.org/10.14421/asy-syir’ah.2016.501-04.
  8. Hutagalung, Arie S. et. al. Hukum Pertanahan di Belanda dan Indonesia. Jakarta: Universitas Indonesia, 2012.
  9. Ismail, Ilyas, Sufyan, dan Azhari. “Rekonseptualisasi Hak Atas Tanah dalam Kerangka Pembaharuan Hukum Tanah Nasional.” Jurnal Ilmu Hukum Litigasi 14, no. 1 (2013): 1698–1729.
  10. Kusumadara, Afifah. “Perkembangan Hak Negara Atas Tanah : Hak Menguasai Atau Hak Memiliki.” Jurnal Media Hukum 20, no. 2 (2013): 262–76.
  11. al-Mawardi, Abū al-Ḥasan. al-Hawi al-Kubrā. 7th ed. Beirut: Dār al-Kutub al-’Ilmiyyah, 1994.
  12. Pangiuk, Ambok. “Ihya’ Al-Mawat dalam Hukum Islam.” Media Akademika 25, no. 2 (2010): 165–81. http://e-journal.iainjambi.ac.id/index.php/ mediaakademika/article/view/233.
  13. al-Qudah, Muḥammad. “Iḥyā’ al-Arḍ al-Mawāt wa Atharuhu ‘ala ’l-Iqtiṣād al-Waṭani al-Ardan Namudhujan,” IUG Journal of Islamic Studies 24, no. 2 (2016): 247–71.
  14. Rokhmad, Abu. “Sengketa Tanah Kawasan Hutan dan Resolusinya dalam Perspektif Fiqh.” Walisongo 21, no. 1 (2013): 141–70. https:// dx.doi.org/10.21580/ws.21.1.240.
  15. Sābiq, Sayyid. Fiqh al-Sunnah. Kairo: Dār al-Ḥadīth, 2004.
  16. al-Ṣan’aniy, Muḥammad bin Ismā’īl. Subūl al-Salām Sharḥ Bulūgh al-Marām min Adillati al-Aḥkām. ed. 4. Beirut: Dār al-Fikr, n.d.
  17. al-Shairaziy, Abū Isḥāq. al-Muhadhdhab fī Fiqh Imām al-Shāfi’iy. 6th ed. Damaskus: Dār al-Qalam, 1992.
  18. al-Shaukaniy, Muḥammad bin Ali. Nail al-Auṭār min Aḥādīth Sayyid al-Akhyār Sharḥ Muntaqiy al-Akhbār. ed. 9. Beirut: Dār al-Jīl, 1983.
  19. Sirapanji, Dessy Natalia. “Status Hukum Tanah Reklamasi Pantai Kota Manado Berdasarkan Undang-Undang Agraria No. 5 Tahun 1960.” Lex Administratum 1, no. 2 (2013): 79–88.
  20. Soerodjo, Irawan. Hukum Pertanahan Hak Pengelolaan Atas Tanah (HPL); Eksistensi, Pengaturan, dan Praktik. Yogyakarta: Laksbang Mediatama, 2014.
  21. Sudahnan. “Status Penguasaan Tanah Tepi Pantai (Studi di Kabupaten Pamekasan).” Perspektif 11, no. 3 (2006): 282–95.
  22. Supriyanto. “Kriteria Tanah Terlantar dalam Peraturan Perundangan Indonesia.” Jurnal Dinamika Hukum 10, no. 1 (2010): 40–60. https:// doi.org//dx.doi.org/10.20884/1.jdh.2010.10.1.139.
  23. Supriyono, Agust. “Sistem Pertanahan Jaman Kerajaan Mataram Islam.” Semarang, 2010. http://eprints.undip.ac.id/3254/1/10_Sistem_ Pertanahan_jadi(Pak_Agustinus_S).doc.
  24. al-Zuhailiy, Wahbah. Fiqh al-Islām wa Adillatuhu. Beirut: Dār al-Fikr, 1989.

Open Access Copyright (c) 2018 Al-Ahkam
Creative Commons License
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License.

Publisher
Faculty of Sharia and Law Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang
in collaboration with Indonesian Consortium Sharia Scholar (KSSI)
Jl Prof. Dr. Hamka Kampus III Ngaliyan Semarang 50185
Phone: 024 7601291
https://fsh.walisongo.ac.id/
email: alahkam@walisongo.ac.id

 Creative Commons License
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License

View:  Visitor | Country  

 
apps