KAJIAN POSKOLONIAL GERAKAN PEMIKIRAN DAN SIKAP ULAMA PESANTREN TEGALSARI DALAM PUSARAN KONFLIK MULTIDIMENSIONAL DI JAWA (1742-1862)

Saifuddin Alif Nurdianto*    -  Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Indonesia
Hermanu Joebagio  -  Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Indonesia
Djono Djono  -  Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Indonesia

(*) Corresponding Author

Abstract: Pesantren Tegalsari was one of the most influential religious-education institutions in Java during 18-19 century. Those years were the golden era of Pesantren Tegalsari which was known as an institution that produced “pujangga” (Javanese intellectuals) and the people of Tegalsari village was well known for producing high quality of dluwang (traditional paper). On the other hand, the 18-19 century itself was a time of turmoil, both socially and politically. Some events such as Geger Pacina (1742), Javanese Succession War III (1746–1755), Java War (1825-1830), and Cultuurstelsel (1830–1917) were crucial moments in the history of Indonesia, especially in Java. At this point, the ulema (Islamic scholars) of Pesantren Tegalsari played an important role. Thought and attitude movements of ulema (Islamic scholars) in Pesantren Tegalsari had determined the existence of the pesantren and the economic cycle of local commmunity. Historical research with post-colonial political approach was used to study the thought and attitude movement of ulama (Islamic scholars) in Pesantren Tegalsari during 1742–1862. The result of this research shows that Pesantren Tegalsari had a political line to not engage in practical politics. This political line was followed by all the leaders of Pesantren Tegalsari. As the result, Pesantren Tegalsari developed into an institution that produced poets and transformed into a place to seek legitimacy in social, academic, and politic.

Abstrak: Pesantren Tegalsari merupakan salah satu lembaga pendidikan-keagamaan yang paling berpengaruh di Jawa abad 18-19. Tahun-tahun tersebut merupakan masa keemasan dari Pesantren Tegalsari yang dikenal sebagai lembaga pencetak pujangga (intelektual Jawa). Bagi masyarakat Desa Tegalsari sendiri, tahun-tahun itu adalah masa perekonomian yang dikembangkan sedang mengalami pertumbuhan yang pesat. Desa Tegalsari terkenal sebagai daerah penghasil dluwang (kertas tradisional) berkualitas tinggi yang diekspor ke berbagai daerah. Di sisi yang lain, abad 18-19 sendiri merupakan masa yang penuh dengan gejolak, baik secara sosial maupun politik. Beberapa peristiwa seperti geger pacina (1742), Perang Suksesi Jawa III (1746-1755), Perang Jawa (1825-1830), dan kebijakan tanam paksa (1830-1917) merupakan momen-momen krusial dalam perjalanan sejarah Indonesia, khususnya di pulau Jawa. Pada titik inilah ulama Pesantren Tegalsari, sebagai salah satu pimpinan lembaga pendidikan-keagamaan paling berpengaruh di Jawa abad 18-19 sekaligus tokoh panutan bagi masyarakat sekitar, memiliki peranan penting. Gerakan pemikiran dan sikap dari ulama Pesantren Tegalsari menjadi sangat menentukan eksistensi pesantren dan perputaran roda perekonomian masyarakat sekitar. Penelitian historis dengan pendekatan politik-poskolonial akan digunakan untuk mengkaji gerakan pemikiran dan sikap ulama Pesantren Tegalsari tahun 1742-1862. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pesantren Tegalsari memiliki garis politik untuk tidak terjun dalam politik praktis. Garis politik inilah yang diikuti oleh semua pimpinan Pesantren Tegalsari. Hasilnya adalah, Pesantren Tegalsari berkembang menjadi lembaga pencetak pujangga dan menjelma sebagai tempat untuk men­cari legitimasi, baik secara sosial, akademik, maupun politik

Keywords: gerakan pemikiran; ulama; Pesantren Tegalsari; gejolak politik; konflik multidimensional

  1. Baso, Ahmad. “Akar Pendidikan Kewarganegaraan di Pesantren.” Jurnal Pendidikan Islam 17, no. 2 (2012): 161–86. https://doi.org/10.15575/ jpi.v27i2.503.
  2. Bruinessen, Martin van. Contemporary Developments in Indonesian Islam: Explaining the Conservative Turn. Singapore: ISEAS Publishing, 2013.
  3. Carey, Peter. Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro 1785-1855. Jakarta: Kompas, 2017.
  4. Djakfar, Muhammad. Etika Bisnis: Menangkap Spirit Ajaran Langit dan Pesan Moral Ajaran Bumi. Jakarta: Penebar Plus+, 2012.
  5. Djody, Setiawan. Reformasi dan Elemen-elemen Revolusi. Jakarta: 2009.
  6. Djuhan, Muhammad Widda. “Ritual di Makam Ki Ageng Besari Tegalsari Jetis Ponorogo.” Kodifikasia 5, no. 1 (2011): 169–86.
  7. Fauziyyah, Fida Indra, Warto, and Sariyatun. “Ronggowarsito’s Concept of Islamic Theosophy in Serat Sabdajati.” International Journal of Multicultural and Multireligious Understanding 5, no. 2 (2018): 177–84. http://ijme-journal.org/index.php/ijme/pages/view/SpecialIssue2017.
  8. Florida, Nancy K. Javanese Literature in Surakarta Manuscripts Vol. II: Manuscripts of The Mangkunagaran Palace. Itacha: Cornell University Press, 2000.
  9. Fokkens, F. “De Priesterschool Te Tegalsari.” Tijdschrift Voor Indische Taal-, Land- En Volkenkunde, no. Deel 24 (1877).
  10. Guillot, Claude. “Le Dluwang Ou: Papier Javanais.” Archipel 26 (1983): 105.
  11. ———. “Le Rôle Historique Des Perdikan Ou Villages Francs: Le Cas de Tegalsari.” Archipel 30 (1985): 142.
  12. Haji, Haris Daryono Ali. Menggali Pemerintahan Negeri Doho, dari Majapahit menuju Pondok Pesantren, sebelum Walisongo dan Babad Pondok Tegalsari. Yogyakarta: Elmatera, 2016.
  13. Hatley, Barbara. Javanese Performances on an Indonesian Stage: Celebrating Culture, Embracing Change. Singapore: NUS Press, 2008.
  14. Joebagio, Hermanu. “Politik Islam dalam Pusaran Sejarah Surakarta.” Millah: Jurnal Studi Agama 13, no. 1 (2013): 155–77.
  15. Katno. “Penerapan Hukum Islam di Keraton Kasunanan Surakarta Masa Pakoe Boewono IV (Tahun 1788-1820 M).” Profetika: Jurnal Studi Islam 16, no. 1 (2015): 46–70.
  16. Kumite Ranggawarsitan. Serat Babad Cariyos Lelampahanipun Suwargi Raden Ngabei Ranggawarsita. Surakarta: Drikerei Mares, 1933.
  17. Kusnanto, Hadi, and Yudi Hartono. “Masjid Tegalsari Jetis Ponorogo (Makna Simbolik dan Potensinya sebagai Sumber Pembelajaran Sejarah Lokal).” Gulawentah: Jurnal Studi Sosial 2, no. 1 (2017): 41–48.
  18. Lindert, Peter H. Shifting Ground: The Changing Agricultur Soils of China and Indonesia. London: The MIT Press, 2000.
  19. Lombard, Denys. Nusa Jawa: Silang Budaya III - Warisan Kerajaan-Kerajaan Konsentris. Edited by Winarsih P. Arifin Terj. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005.
  20. Majid, Nurcholis. Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan. Jakarta: Paramadina, 1997.
  21. Margana. Pujangga Jawa dan Bayang-Bayang Kolonial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
  22. Martin Van Bruinessen. Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia. Bandung: Mizan, 1995.
  23. Moesa, Ali Maschan. Nasionalisme Kiai: Konstruksi Sosial Berbasis Agama. Yogyakarta: LKiS, 2007.
  24. Mu’tasim, Radjasa, Timbul Haryono, and St. Sunardi. Agama dan Pariwisata. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013.
  25. Muljana, Slamet. Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara. Yogyakarta: LKiS, 2005.
  26. Multazam, Dawam. “The Dynamics of Tegalsari (Santri and Descendants of Pesantren Tegalsari Ponorogo Kiai’s in 19-20th).” Qalamuna 9, no. 1 (2017): 91–110.
  27. Pakêmpalan Ngarang Serat ing Mangkunagaran. Serat Babad Panambangan. Surakarta: Indonesise Drikkere, 1918.
  28. Ranggawarsita, R. Ng. Wirid Hidajat Djati. Surabaya: Trimurti, 1954.
  29. Reid, Anthony. Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450 - 1680 Jilid 2: Jaringan Perdagangan Global. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011.
  30. Remmelink, Willem G.J. Perang Cina dan Runtuhnya Negara Jawa, 1725-1743. terj. Akhmad Santoso. Yogyakarta: Jendela, 2002.
  31. Ricklefs, Merle Calvin. Sejarah Indonesia Modern 1200–2008. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2008.
  32. Rohmatulloh, Dawam M. “Local Muslim Heritage: Pelestarian Warisan Budaya Pesantren Di Tegalsari Ponorogo.” Proceedings Second Annual Conference For Muslim Scholars Dengan Tema “Strengthening The Moderate Vision of Indonesian Islam, no. April (2018): 232–39.
  33. Sahal, Husni, and Alhafiz K. “Ini Penjelasan Agus Sunyoto tentang Hubungan Pesantren Dan Keraton.” NU Online: Soeara Nahdlatoel Oelama, 2017. http://www.nu.or.id/post/read/79995/ini-penjelasan-agus-sunyoto-tentang-hubungan-pesantren-dan-keraton.
  34. Sasrasumarta, R. Tus Pajang. Surakarta: Budi Utama, 1939.
  35. Sears, Laurie Jo. Shadows of Empire: Colonial Discourse and Javanese Tales. London: Duke University Press, 1996.
  36. Silsilah Kyai & Nyai Ageng Anom Besari. Madiun, t.th.
  37. Solahudin, Dindin. The Workshop for Morality: The Islamic Creativity of Pesantren Daarut Tauhid in Bandung Java. Canberra: ANU E Press, 2008.
  38. Teygeler, R. “Dluwang, a Near-Paper from Indonesia.” dalam IPH Congress Book 1996, 11:134–45. Marburg: International Association of Paperhistorians, 1996.
  39. Tilaar, H.A.R. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta, 2002.
  40. Turmudi, Endang. Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan. Yogyakarta: LKiS, 2004.
  41. Umar, Nasaruddin. Rethinking Pesantren. Jakarta: Elex Media Komputindo (Quanta), 2014.
  42. Wacono, Setyo. keturunan ketujuh dari Kiai Ageng Mohamad Besari. Wawancara. Rabu 7/2/2018.

Open Access Copyright (c) 2018 Jurnal THEOLOGIA
Creative Commons License
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International License.
 

JURNAL THEOLOGIA

Published by The Faculty of Islamic Theology and Humanities
Universitas Islam Negeri Walisongo
Semarang - Indonesia

 
                                                               
Web
Analytics
View My Stats
apps