POLITIK DAN “TEATER RITUAL” DI BALI

I Ngurah Suryawan*  -  Universitas Negeri Papua, Indonesia

(*) Corresponding Author

The relation between ritual and socio-political environment should become a deep reflection. Rituals which take place in order for salvation, harmony, and natural balance instead generate the ambigue and ironic situation. Rituals had been going on amazingly but the social as well as natural disasters seems go on continually. In Bali, religious rituals that formerly guarded by mantra-mantra (spiritual wordings) recently enstead by a group of Pecalang (tradition guardian in Bali) and metal detector (at the time of Pamarisudha Karipubhaya Bali Blast of 2002 and 2005). Nowadays Balinese are eager to perform rituals spectacularly. But instead, Bali now is struck by continous disaster, not only the disaster came from external sources but also the internal ones.

***

Hubungan antara ritual dengan lingkungan sosial politik harus menjadi bahan renungan yang dalam. Ritual yang dilaku­kan untuk tujuan keselamatan, harmoni, dan ke­seimbang­an alam bahkan menimbulkan kondisi ambigue dan ironis. Ritual berjalan secara mengesankan namun bencana sosial maupun bencana alam terus menerus terjadi. Di Bali, ritual agama yang sebelumnya diwarnai mantra-mantra kini diisi oleh Pecalang (pengawal tradisi Bali) dan metal detector (pada saat Pamarisudha Kariphaya Bom Bali 2002 dan 2005). Kini orang Bali cenderung melaksanakan ritual secara spektakuler. Akan tetapi Bali seringkali didera ben­cana, baik bencana yang berasal dari dalam maupun luar.

Keywords: ritual; disaster; mantra; pecalang; harmoni

  1. Dhafamony, Mariasusai, Fenomenologi Agama, Yogyakarta: Kanisius, 1995
  2. Geertz, Clifford, Kebudayaan dan Agama, Yogyakarta: Kanisius, 1992.
  3. Kartodirdjo, Sartono (ed.), Kepemimpinan dalam Dimensi Sosial, Jakarta: LP3ES, 1984.
  4. “Ngaben Bermasalah Kremasi Sajalah,” Majalah Sarad No. 68 Desember 2005.
  5. Palguna, IBM., Dharma, Bom Teroris dan “Bom Sosial,” Narasi dari Balik Harmoni Bali: Perspektif Korban dan Relawan, Denpasar: Yayasan Kanaivasu, 2006.
  6. Santikarma, Degung, “Monumen, Dokumen dan Kekerasan Massal,” Kompas, 1 Agustus 2003.
  7. Santikarma, Degung, “Sweeping” Bali, ‘Sekala” dan “Niskala,” Kompas, 7 April 2004.
  8. Suhardi, “Ritual: Pencarian Jalan Keselamatan Tataran Agama dan Masyarakat Perspektif Antropologi,” Pidato Pengukuhan Guru Besar Antropologi pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, 18 Maret 2009.
  9. Sujaya, I Made, Sepotong Nurani Kuta: Catatan Seputar Sikap Warga Kuta dalam Tragedi 12 Oktober 2002, Denpasar: Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) Kuta, 2004.
  10. Suryawan, I Ngurah, BALI, Narasi dalam Kuasa (Politik dan Kekerasan di Bali), Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2005.
  11. Sutama, I Putu, “Upacara Ngaben Atma Papa di Kabupaten Buleleng: Kajian Fungsi dan Makna,” Tesis Program Magister Ilmu Agama dan Kebudayaan Universitas Hindu Indonesia (Unhi), 2005.

Open Access Copyright (c) 2022 I Ngurah Suryawan
Creative Commons License
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License.

Publisher:
Institute for Research and Community Services (LP2M)
Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang, Rectorate Building, 3rd Floor
Jl. Prof. Hamka - Kampus 3, Tambakaji Ngaliyan 50185, Semarang, Central Java, Indonesia
Email: walisongo@walisongo.ac.id

 

 
apps